313; Selasa kali ini semanis kue ulang tahun
2010.
Di usianya yang ke 6 tahun, Aleon baru saja mendapatkan kamar tidur, walau untuk tidur di kamarnya sendiri dia masih harus ditemani dulu oleh ayahnya sampai dia benar-benar tertidur. Kalau ayahnya beranjak sebelum dia pulas, Aleon dengan jahilnya akan membuka mata, “Hayo, mau ke mana tuh ayah? Aku baru merem-mereman doang, jangan pergi dulu!” Dia tidak pernah bisa tidur di bawah jam 9 seperti seharusnya pola tidur normal anak-anak dan perlu waktu 1 sampai 2 jam selisih waktu diperlukan dari memejamkan mata sampai akhirnya bisa benar-benar tertidur. Sepertinya anak itu memang sudah bakat dalam merusak pola tidurnya sejak kecil.
Jadi untuk membantu Aleon mendapatkan rasa kantuknya, setiap malam sebelum Aleon masuk kamar, Malinka akan membawa putranya ke ruang musik untuk memainkannya cello sambil duduk di atas pangkuannya. Inilah yang membuat Aleon kecil sedang suka-sukanya pada musik.
Judul lagu yang dimintanya selalu sama, lihatlah lebih dekat dari film Petualangan Sherina.
Aleon yang kala itu tingginya hanya sebatas pinggang Malinka telah duduk di atas pangkuan sang ibu. “Lagunya Sherina lagi?” tanya Malinka sambil menundukkan wajah memandang mata Aleon kecil.
Dia hanya mengangguk, lalu menyenderkan tubuhnya dengan nyaman pada Malinka bagaikan itu adalah sandaran paling nyaman yang tidak pernah bisa dirasakan di manapun.
Malinka terkekeh, mencuri kesempatan untuk mengusak-usak rambut tebal Aleon sebelum mulai menarik setangkai bow. “Oke. Kayak biasa Ale merem sambil boboan ke ibu ya.”
Dinding-dinding rumah kembali merekam cerita di antara Aleon dan Malinka begitu gesekan senar pertama tergesek dengan lembut. Indahnya lantunan cello menjelajahi relung-relung gelap yang dibawa oleh langit malam. Gerakan tangan Malinka bergemulai ayu, seakan mengendarai melodi-melodinya supaya tertuju pasti pada malaikat kecil di atas pangkuannya. Aleon sangat menyukai lagu ini dan Aleon jatuh hati dua kali lipat pada lagu ini setiap kali lagunya dimainkan oleh ibunya.
“Janganlah sedih, janganlah resah. Jangan terlalu cepat berprasangka.” Malinka tiba-tiba bernyanyi dengan suaranya yang juga merdu. Tangannya masih terus mengayun, namun matanya memejam semakin dalam di atas pucuk kepala Aleon.
Setiap kali dia membawakan lagu ini dengan posisi putranya yang pelan-pelan terlelap di dalam dekapannya, emosinya berkecamuk, bayangannya mengingat terlalu cepat pada hari di mana Aleon kecil telah tumbuh dewasa yang pelan-pelan meninggalkan rumah untuk meninggali kehidupannya.
“Janganlah gundah, janganlah resah. Lihat segalanya lebih dekat, dan kau bisa menilai lebih bijaksana.”
Malinka mengintip putranya, matanya terpejam tenang, anak lelaki itu juga tanpa sadar tertidur sambil meremat renda-renda manis pada lingkar leher gaun tidurnya.
Mengapa bintang bersinar? Mengapa air mengalir? Mengapa dunia berputar? Lihat segalanya lebih dekat, dan kau akan mengerti
Waktu berlalu begitu cepat, hanya kepada malamlah Malinka mengharapkan waktu untuk melambat untuk bisa memangku Aleon lama-lama sebelum anak itu tumbuh tinggi, dan dewasa.
“Ale? Udah bobo sayang?” Wanita itu menepuk pelan pipi putranya. “Pindah yuk ke kamar.” Lalu mencium keningnya.
Aleon kecil membuka matanya setelah memastikan kalau lagu yang dimainkan sekaligus dinyanyikan sang ibu telah usai. Dia menggeleng. “Kalau aku gak merem, nanti ibu nyuruh aku ke kamar karena nggak tidur-tidur, jadi aku pura-pura tidur supaya ibu nyanyinya lama. Soalnya aku mau dinyanyiin ibu lama-lama.”
Kalimat putranya membuat Malinka tertawa gemas, dia menyatukan ujung hidung keduanya sambil menggerak-gerakan kecil kepalanya. “Malam ini mau coba bobo sendiri apa masih mau ditemenin ayah?” tanya wanita itu sembari berdeham lembut.
“Ditemenin.” Aleon menggeleng kuat. “Aku takut sendirian kalau lampunya mati, tapi kalau lampunya dinyalain aku gak mau bobo-bobo.”
“Hahaha, loh Ale takut gelap memangnya?”
“Iya, kalau gelap nanti ada hantu.”
Malinka menurunkan Aleon kecil dari atas pangkuannya, membuat putranya kebingungan karena tiba-tiba dia langsung pergi mematikan saklar lampu. Tak lama terdengar suara teriakan heboh.
“IBUUUUU!”
“Ada ada, halo, sini ibu ada di sini!” Malinka segera berlari menghampiri Aleon lagi. Dia mengsejajarkan diri dengan duduk bertimpuh di sebelah putranya.
Ruang musik tidak sepenuhnya gelap setelah lampu dimatikan karena ada cahaya bulan dari luar yang menembuskan terangnya lewat ventilasi jendela, bahkan dari balik gorden, walau cahaya bulan tak seutuhnya lolos tapi tirai-tirai itu rasanya dibuat menyala.
“Coba sekarang Ale lihat ke sekeliling, gelap gak?”
“Sedikit. Wajah ibu masih keliatan,” Aleon menyentuh ujung hidung ibunya dengan satu jari telunjuknya yang kecil. “Tuh, ada.”
“Itu karena Ale selalu punya bulan setiap malamnya.” Wanita itu terkekeh seraya menurunkan jari telunjuk Aleon dari hidungnya. “Kalau Ale takut, Ale bisa lihat lebih dekat ke satu titik cahaya bulan di luar, ada bulan yang nemenin Ale bobo, bahkan nggak cuma Ale, satu bumi ditemani oleh bulan.” Jawabnya penuh kasih sayang.
“Walaupun cahayanya sedikit? Emangnya bulan tetap bisa bikin kamar aku terang?”
“Ummm, memang sedikit, tapi kalau Ale lihat lebih lekat, cahayanya selalu dekat dengan Ale.” Malinka berbicara pada binaran mata Aleon yang berkelip kepadanya di antara cahaya remang. “Semua hal akan tampak lebih besar kalau kita mau coba lihat lebih dekat.”
Tiga belas tahun kemudian anak laki-laki itu telah benar-benar jatuh ke dalam musik, dia bahkan sudah bisa memainkan biolanya sendiri untuk diperdengarkan pada orang-orang. Jika ibunya tahu, dia pasti bangga, mereka mungkin bisa berkolaborasi untuk menciptakan ruang aman bagi mereka yang tersesat. Namun tiga belas tahun kemudian, anak laki-laki itulah yang tersesat.
Tiga belas tahun kemudian, Malinka yang dulu khawatir kalau anak satu-satunya beranjak dewasa sekarang beralih jadi sosok yang justru dikhawatirkan oleh putranya. Selasa sore seperti biasa, hari ini Aleon membuka lagi kenangan kecilnya dengan memainkan lagu lihatlah lebih dekat yang sebenarnya khusus untuk ibunya. Malinka ada di sana, menontonnya seperti biasa sambil mengayun-ayunkan kepala ke kanan dan ke kiri mengikuti lantunan biola manis dari putranya, senyumnya tersimpul tipis seumpama bangga. Aleon selalu memimpikan hari di mana dia bisa memainkan lagu untuk ibunya. Tapi tiga belas tahun kemudian nyatanya hanya membawa dirinya menjadi asing bagi sang ibu.
Jumat lalu, dia senang minta ampun waktu Dylan benar-benar mendeklarasikan kalau rumah cemara akan berkolaborasi dengan sanggar maheswara sekaligus melangsungkan projeknya di gedung seni. Tanpa ba bi bu Aleon memberi usul agar memberikan undangan spesial juga bagi anak-anak di Yayasan panti asuhan untuk menonton pementasan, juga teman-teman lansia di rumah jompo milik tantenya. Karena tahun ini, donasi yang dikeluarkan akan terbilang banyak maka hasil donasi dari keduanya akan banyak disalurkan ke beberapa pihak dan Yayasan, termasuk Eudaimonia senior living, sudah pasti ide dari Aleon lagi. Dia ‘memanfaatkan’ projek ini untuk menjadi-lebih-dekat dengan ibunya. Dia juga sudah menceritakan semua rencana rumah cemara pada Shelly dan mendapat 100% dukungan penuh.
Aleon menghampiri Malinka sewaktu satu per satu orang meninggalkan ruang santai. Lingkaran kursi sudah tertata lagi seperti susunan awal. Di saat para penghuni beranjak pergi bersantai ke pendopo, mencari makanan ke dapur atau istirahat ke kamar masing-masing, Malinka memilih diam di sana, duduk pada satu kursi empuk di sebelah jendela yang mengarah ke danau buatan, ia membawa kanvas pola berukuran 40x60 yang siap diwarnai sesuai arahan nomor.
“Ibu, nggak ikut ke pendopo?” Lelaki itu melutut sopan di depan kursi Malinka untuk memberinya kontak mata selama berbicara.
“Banyak orang, terlalu berisik.” Jawabnya, tapi pandangannya menjelajah gusar pada sekitar sambil meraba-raba kursinya.
Aleon yang menyadari bertanya sigap. “Kenapa, ibu? Ada yang hilang?”
“Kuas sama cat airnya di mana ya? Kan sudah aku bawa.” Matanya masih mencari-cari ke sekitar. Ini keseharian yang biasa di kehidupan baru Malinka.
Jika dipertanyakan lebih lanjut di mana terakhir ia menyimpan alat lukisnya atau disuruh meyakinkan lagi apakah dia benar-benar sudah membawanya yang ada hanya membuat wanita itu semakin bingung. Yang harus Aleon lakukan untuk berkomunikasi dengan ibunya adalah dengan mendengarkan dan merespons langsung apapun yang diucapkan tanpa memicu perdebatan.
“Aku bantu cari, ya.” Aleon menaruh tangannya dengan lembut di atas punggung tangan Malinka, namun segera ditahan saat ia hendak beranjak.
“Nggakpapa Leon, nanti saja.”
Aleon tersenyum sendu, lalu melutut lagi.
Sudah berkali-kali Malinka menyebut namanya tetapi rasa asingnya justru terbentuk semakin kuat setiap ibunya memanggil dengan nama Leon, semakin menyedihkan lagi ketika namanya hanya dikenal sebagai pemain biola yang senang berkunjung ke senior living. Setidaknya itu tetap sedikit lebih baik daripada mendengar nama kecilnya disebut oleh Malinka yang sudah tidak mengenali Ale sebagai anak lelaki yang dulu banyak tertidur di pangkuannya.
Semilir angin sore menggelitik tubuh lewat celah-celah jendela, membuat siapapun tidak mampu menolak sejuknya udara dingin. Pelan-pelan Malinka memejamkan matanya pada sandaran kursi, hembusan napasnya sangat tenang bagai sahut percakapan para penghuni yang terdengar dari pendopo sana tidak membisingkan dunianya. Situasi tersebut dimanfaatkan oleh Aleon untuk memandangi cantik ibunya tanpa khawatir tertangkap basah lalu membuat wanita itu takut, dia menaruh dagunya di atas sandaran tangan kursi dan mengagumi betapa bersyukurnya pada kehadiran Malinka di setiap harinya. Bagaimana pun keadaannya dia berlega hati kalau ibunya masih bisa direngkuh dalam sentuhan nyata.
Malinka mengejutkan putranya dengan membuka mata tiba-tiba, untungnya tidak tertangkap basah karena Aleon segera mengalihkan pandangan seolah menikmati langit senja dari balik jendela,
“Aku senang dengan lagu yang kamu mainkan tadi.” Kata Malinka tanpa aba-aba.
Aleon menaruh kontak mata lagi, wajahnya terlihat terkejut penuh harap. “Ibu tau lagunya? Itu lagu kesukaanku waktu kecil.”
Namun wanita itu menggeleng.
“Tapi menyenangkan untuk didengar, aku suka lagunya.” Dia membalas tatapan mata Aleon, lalu tersenyum tipis.
Dan Aleon hanya bisa menjaga senyumannya.
“Nanti aku ajak ibu sama temen-temen lain di sini buat nonton pementasan musik yang lebih besar ya, dari acara organisasi aku. Nanti ada biola, piano, terus… cello, pasti lebih menyenangkan untuk didengar.”
“Kamu yang main?”
“Kayaknya sih, enggak, aku gak bisa ikut main di atas panggung.”
“Kenapa?”
“Panggungnya terlalu besar.” Aleon terkekeh.
“Kenapa memangnya kalau terlalu besar?” Ibunya membulatkan bibir. Aleon tidak bisa menyembunyikan tawanya, rasanya seperti sedang bergurau dengan sang ibu padahal Malinka hanya membulatkan bibir.
“Belum waktunya aku main di panggung besar. Lagian temen-temenku udah panggil seniman-seniman hebat buat tampil di sana.”
Malinka tersenyum lagi. “Kamu juga pemain biola yang hebat, aku selalu suka permainanmu.”
“Hahaha. Kalau lagu yang tadi gimana? Ibu suka juga gak?”
“Bagus. Aku suka.”
“Yang benaaar?” Aleon memiringkan kepala lalu berekspresi dengan matanya yang bulat, posisi dagunya masih menempel pada sandaran kursi Malinka.
“Yaaa, kamu pemain biola yang hebat!” jawab wanita itu dengan intonasi meninggi.
Aleon tertawa lepas, ini adalah intonasi suara paling semangat yang terdengar dari ibunya semenjak ingatannya semakin kacau dan waktu mengubah kepribadian menyenangkannya menjadi tidak banyak berbicara.
Walau pujian ibu masih terasa asing, obrolan kecil kami terasa begitu nyata. Aku tidak lagi menghindari percakapan dengan ibu hanya karena tidak cukup kuat untuk dianggap asing, aku juga sudah berani menatap lekat-lekat wajah ibu lebih dari 7 detik tanpa merasa takut akan hari selanjutnya.
Selasa kali ini rasanya manis seperti kue ulang tahun karena aku bisa merasa sedikit lebih dekat lagi dengan ibu. Ibu boleh menganggap ini sebagai obrolan antara lansia dan pemain biola, tapi bagiku ini akan selalu tentang ibu dan Ale. Dan minggu-minggu selanjutnya juga pasti begitu. Ale akan hidup kembali.