257; Andam karam
Musim hujan mulai hadir, pemandangan awan mendung menjadi hal yang lebih sering dilihat dibanding pesawat yang mengudara di langit. Sampai hari ini, Anjani memang masih belum berhenti menganggap kalau orangtuanya ada di dalam pesawat-pesawat itu. Tapi semenjak rasa ikhlas berhasil mendominasi dirinya, Anjani sudah tidak pernah lagi memberi makan ego berisi harapan bahwa orangtuanya akan mendarat sebentar lagi. Anjani resmi berdamai dengan kehilangan.
Papi, Mami, kalau istana di atas langit jauh lebih indah dari bumi, telusurilah langit jauh lebih tinggi lagi, temukan titik langit terindah untuk tempat kita berkumpul kembali, suatu hari nanti.
Dari Anjani, yang telah ikhlas melepas.
Sebait paragraf yang Anjani tulis pada kertas origami berwarna biru, siap untuk diterbangkan untuk pertama kali.
Kehilangan ada bukan untuk meninggalkan rasa sakit, tapi kehilangan ada untuk belajar menerima akan berakhirnya sebuah kisah di satu chapter kehidupan, belajar untuk menelan rasa pahit saat membalik halaman baru tanpa hadirnya mereka yang hilang, dan belajar memahami kalau kehilangan adalah bagian dari hidup. Malam itu, sepulang dari mengirimkan bertumpuk-tumpuk jar cookies, Anjani melipir ke supermarket untuk membeli bahan, sebab telah berjanji pada Aleon akan membuatkan kue ulang tahun.
Sesampainya di apartemen, perempuan itu membaca bolak-balik buku catatan kursusnya, menonton baking vlog di youtube, bahkan membaca ulang semua ulasan positif para pelanggan atas biskuit cokelatnya untuk meyakini diri berkali-kali.
Panggilan video dari Aleon masuk ketika Anjani sedang tenggelam di dalam rasa tidak percaya diri. Lelaki itu selalu datang di saat yang tepat seakan tahu kalau membuat Anjani merasa aman dan tenang adalah tugasnya. Aleon juga tahu bagaimana khawatirnya Anjani akan memberikan atmosfer canggung saat bertemu keluarga Shelly, terutama Hira, anak kecil selalu peka pada hal-hal yang membuatnya tidak nyaman dan Anjani takut mengacau.
Maka itu, sebelum benar-benar bertemu dengan keponakannya besok, Aleon sengaja memperkenalkan Hira lewat panggilan video lebih dulu supaya besok Anjani bisa benar-benar menikmati momen tanpa khawatir tidak bisa berbaur dengan keluarganya. Mereka berdua muncul sudah menggunakan topi-topian kertas untuk menyemangatinya. Dan anak perempuan berambut keriting itu menerima Anjani dengan hangat, bahkan Hira memberi panggilan kakak chef pada Anjani setelah melihat kue ulang tahun dengan tataan stroberi berhasil terpanggang sempurna.
“Kakak chef, aku mau coba kuenya! See you tomorrow!” teriak Hira sebelum telepon ditutup.
Beberapa menit kemudian setelah sambungan terputus, Aleon mengirimi voice note berdurasi 8 detik berisi, “Maaf aku udah gatel banget dari tadi nahan-nahan buat gak bilang ini di depan Hira, but Anjani how can you look so pretty in that pink apron?! Selamat sudah berhasil bikin kue strawberrynya kakak chef caaaantik, see you tomorrow!”
“Leon, kira-kira rasa kuenya beneran enak gak, ya?” Mungkin sudah lebih dari 5 kali Anjani mengulang pertanyaan sama sore ini, masih saja khawatir perihal kue buatannya.
Sama seperti biasanya, Aleon tidak pernah meninggalkan biola dan kalungan kamera pada lehernya setiap kali datang. Setelah turun dari motor, kedua remaja itu berjalan berdampingan memasuki panti. Gandengan tangan Anjani pada lengan Aleon membuat langkahnya yang biasanya besar-besar harus mengikuti gerak perempuannya yang gugup.
“Kamu mau aku jawab apa?”
Anjani memanyunkan bibir. “Yang pasti kalau kamu jawab enak, itu gimik banget sih, kan kamu belum coba kuenya.”
Lelaki itu berdeham. “Ummm, emang. Tapi aku percaya kalau kuenya bakal enak dan ini bukan gimik.”
“Apa yang bikin percaya?”
“Kamu. Aku percaya karena kamu yang buat.”
Sebelum sesi senyam senyum membuat Anjani dianggap seperti orang gila, Aleon lebih dulu menunjuk seseorang yang dari tadi telah mengintip di balik pintu masuk, Hira. Anak itu langsung berlari keluar begitu melihat keduanya mendekat.
“Aku tau kalian pacaran,” kata anak kecil sok mengerti itu tiba-tiba, “tapi ngobrol berduanya jangan lama-lama, aku dari tadi liatin kalian di parkiran lama sekali enggak berjalan-jalan.” Bibirnya merengut.
“Jalan-jalan.” Aleon membalas seraya menundukan badannya sejajar dengan kepala Hira yang hanya setinggi pinggangnya. “Nggak usah baku-bakuuu ah! Kan gak lagi ngomong sama bapak presiden.”
“Okey kakak Leon!”
Suara tawa Anjani menyambut.
Ini bukan pertama kali Anjani mendengar Hira berbicara sesuai kalimat EYD, berkali-kali ia tertawa melihat Aleon protes setiap anak perempuan itu mengeluarkan kata baku saat melangsungkan panggilan semalam. Karena terlalu sering menggunakan bahasa Inggris di sekolah, Hira akan mulai menggunakan kalimat baku sekalinya berbicara dengan bahasa ibu. Itu memang bukan masalah bagi Aleon, tapi kadang ia juga ingin berbicara santai pada anak 7 tahun itu tanpa harus merasa seperti sedang mendengar presentasi.
“Tidak apa-apa Hira, kalau dia protes terus, kamu bicara padaku saja.” Anjani menepuk-nepuk pucuk kepala Hira, turut mensejajarkan diri.
“Okey kakak chef!”
Ketiganya masuk dan segera disambut oleh Shelly, tugas Aleon untuk mengenalkan Anjani pada sang paman diambil olehnya, Shelly mengenalkan Anjani pada suaminya seakan-akan ia akan selamanya masuk di dalam keluarga itu. “Ini kuenya buatan kamu, Jan?” ucap suami Shelly dengan suara lantang yang ramah.
“Iya, Om. Semoga rasanya bisa diterima sama lidah semuanya ya, hahaha, aku agak gak pede sebenernya, udah lama gak bikin kue tart.” Jawaban itu dibalas oleh kibasan tangan dari suami Shelly seolah menyuarakan, tenang saja, kue ini tidak mungkin tidak enak. Lalu mereka berterima kasih.
“Kuenya terlihat enak.” Si kecil Hira memulai lagi. “Aku mau makan kuenya dong!”
“Boleh. Tapi nanti ya, tunggu Kak Leon selesai main biola buat para kakek dan nenek, nanti kita makan sama-sama,” sahut Shelly.
“Aku mau menonton.”
Aleon menjawab dengan intonasi bahasa baku yang sama. “Baik, kamu boleh menonton.”
Meski sudah lama Anjani tidak mengunjungi tempat ini, suasana ruang musik terasa sama begitu ia masuk. Deretan kursi sudah siap melingkari Aleon sebelum lelaki itu mengambil posisi tengah bersama biolanya. Masih teringat waktu dirinya ditahan oleh Yani agar tidak pergi dari sisinya, ia sangat merindukan wanita itu, tapi sayangnya Yani tidak hadir hari ini karena harus pergi ke rumah sakit untuk jadwal cek kesehatan.
Maka perempuan itu memilih untuk menduduki kursi kosong di sebelah Malinka. Seketika pikirannya teringat pada foto di dalam dompet Aleon.
“Kamu teman si pemain biola itu, ya? Sudah lama tidak melihat,” Malinka menyala lebih dulu.
“Ah iya, beberapa minggu ini banyak kegiatan yang bikin aku gak sempat ikut. Ibu apa kabar?”
Tidak menjawab, Malinka justru terfokus pada beberapa bulir keringat pada dahi Anjani, ia tiba-tiba menyeka dahi perempuan itu secara lembut. “Rambutmu diikat saja, nak, langit hari ini mendung tapi cuacanya panas.”
Sekaan tangan Malinka membuat Anjani bergeming sampai mulutnya bahkan terasa sulit untuk mengucap terima kasih. Ini mengingatkannya pada usapan terakhir tangan sang ibu sebelum pergi dan tidak pernah kembali, kehangatan itu begitu nyata sampai Anjani berharap kalau usapan tangan Malinka tidak akan pernah turun dari rambutnya.
Tarikan biola yang dimainkan Aleon sama sekali tidak membuat fokusnya gagal untuk menontoni interaksi Anjani dan Malinka. Bibirnya tertarik secara tak sadar saat melihat wanita itu mengikatkan rambut perempuannya. Ia juga berharap, andai waktu bisa berhenti selama sekian detik.
Setelah hiburan musik selesai, satu per satu lansia pergi meninggalkan ruangan, beberapa melipir menuju dapur karena aroma dari hidangan sore sudah memanggil sejak tadi. Begitu juga dengan Hira yang sudah berulang kali menanyakan kapan kuenya akan dipotong padahal kuenya saja belum diberikan pada Malinka. Si pembuat kue sedikit menyesal karena tidak terpikir untuk membuatkan Hira kue juga, tapi ia harap Malinka tidak merasa keberatan untuk membagikan kuenya pada orang lain.
Melihat bagaimana wajahnya semringah saat menerima kue itu, Anjani kembali bertanya-tanya alasan apa dibalik kue ulang tahun di hari selasa.
Dua puluh menit sudah Anjani menunggu sendirian di pendopo halaman semenjak Shelly mengajaknya ke sana untuk menunggu Aleon. Seusai bermain biola, Aleon pasti diperebutkan oleh beberapa teman lansia sebagai teman mengobrol, khususnya Martin yang sudah tak sabar mengajaknya berduel catur. Langit sore semakin menguning, perempuan itu gagal menerbangkan pesawat kertas sebab hari ini tidak ada tanda-tanda pesawat melintas.
“Kakak chef!” Hira tiba-tiba berlari dari dalam ruang santai, sudah memegang sepotong kue di atas piring kecil. “Kuenya enak sekali, aku suka.”
Anjani terkekeh dan mengusak lembut rambut anak 7 tahun yang duduk di sampingnya. “Ikut seneng kalau Hira suka, nanti aku bikinin juga, okey? Khusus buat kamu.” Lalu mengetukan jari telunjuk pada ujung hidungnya.
“Nggak apa-apa Kakak Jani, nanti kamu capek bikin dua kue. Aku kan bisa minta punya Tante Inka.”
“Hahaha kenapa kamu panggil Ibu Malinka pakai tante? Kok nggak nenek?”
Panggilan itu terasa sangat menggemaskan bagi Anjani. Walau usia Malinka cukup jauh dari penghuni panti lain, dan wajahnya yang masih sangat segar untuk umur 50-an terlihat belum cocok mendapat sebutan nenek, tetap saja wanita itu jauh lebih cocok mendapatkan panggilan nenek kalau dari Hira.
Hira mengangkat bahu sambil mulutnya tidak berhenti mengunyah. “Kata mama, aku memang harus panggil tante.”
“Oh ya? Kenapa?” Binar mata Anjani semakin menunjukan kalau ia gemas dengan anak itu.
Namun, kerlipan matanya memadam gelap ketika Hira menyuarakan jawaban yang membuat jantungnya berhenti untuk beberapa detik.
“Soalnya Tante Inka kakaknya mama. Tante Inka kan, mamanya Kak Leon.”
Tidak mungkin. Ini-tidak-masuk-akal.
Anjani hanya bisa memandang Hira dengan tatap penuh harap kalau anak perempuan itu hanya asal bicara. Mungkin maksudnya Shelly sudah menganggap Malinka seperti kakak sendiri atau saking sayangnya Aleon pada penghuni panti makanya ia mengakui semua sebagai orangtua.
Tapi, semua harapan itu hilang ketika Aleon datang. “Maaf, ternyata aku harus keduluan Hira,” jawab Aleon.
Matanya terlihat lembut seperti tidak memiliki kekacauan di dalamnya. Berbeda jauh dengan Anjani yang rahangnya telah mengeras, rasanya ia seperti baru terkena sambaran kilat.
“Hira, Kak Leon boleh pinjem kakak chef sebentar?” pintanya seraya mengelus rambut Hira.
Lelaki itu duduk bergabung di ujung pendopo setelah meminta izin pada Hira yang ekspresinya mendadak berubah bingung untuk diberi waktu berdua dengan Anjani. Tanpa banyak bertanya, Hira pergi masuk ke dalam panti.
Sunyi. Suara berisik air mancur di tengah kolam pun tidak mampu memecahkan keheningan di antara Aleon dan Anjani yang hanya bisa saling berpandang. Anjani seperti sudah menolak kenyataan yang sebentar lagi akan dia dengar. Dia takut. Dia khawatir. Khawatir kalau ternyata dunia sudah tidak lagi memiliki ruang bahagia di manapun, juga pada siapapun.
“Nggak mungkin, Hira bohong, kan? Hira cuma salah kalimat, maksudnya kamu udah menganggap Ibu Malinka sebagai ibu kamu… kan?” Berulang kali ia menegaskan suaranya yang mulai bergetar, berharap untuk segera diiyakan.
Sama sekali tidak ada kecurigaan mendalam waktu ia menemukan foto Malinka pada dompet Aleon. Setidaknya, tidak sejauh ini.
Lelaki itu belum menjawab apapun tapi semuanya seperti sudah terasa tidak masuk akal. Bagaimana bisa Aleon menyimpan ibunya sendiri di panti jompo yang masih dalam keadaan sehat? Kenapa Aleon tidak pernah mengakui kalau Malinka adalah ibunya dan bertingkah seakan wanita itu adalah orang asing? Isi kepalanya ribut. Terlalu cepat untuk merasa marah, tapi juga terlalu takut akan seluar biasa apa luka yang sebenarnya dipendam oleh Aleon seorang diri.
Anjani menggenggam kencang punggung tangan lelakinya. Semakin Aleon diam, rasa sakit semakin menusuk dadanya. Untuk sekadar memikirkan kalimat pertanyaan saja kepalanya seperti tidak sanggup. Karena ia mengerti, tidak mudah bagi siapapun untuk menceritakan luka. Sambil mengelus-elus lembut punggung tangannya, Anjani berusaha menenangkan degup jantung sendiri dan membiarkan Aleon tenggelam dalam sendunya sampai ia siap bercerita.
Aleon menunduk dengan mata terpejam untuk waktu yang cukup lama, sebelum akhirnya berani mengangkat wajah, lalu melempar pandang pada Malinka di balik jendela ruangan tadi.
Pandangan Aleon terlihat jauh. Karena, bukan hanya Malinka yang ia lihat, tapi ia juga memandang jutaan momen yang telah mati di dalam jiwa Malinka.
“Anjani,” Lelaki itu membuka suara. “Mungkin kamu lupa, kalau selama ini kamu hanya berspekulasi sendiri tentang apa yang terjadi sama aku, juga orangtuaku. Walau memang kamu pun gak sepenuhnya salah.
“Ayahku meninggal karena kecelakaan kerja waktu aku masih berusia 15 tahun. Tapi ibu,” Aleon tertawa kecil, kepalanya menggeleng lemah, “aku sama sekali gak pernah bilang kalau ibuku sudah meninggal. Saat ini kamu sedang melihatnya. Her. Malinka is my mom, Jani.” Katanya sambil tersenyum dan kembali memandangi Malinka di sana.
“Tapi… kenapa kamu gak pernah bilang?”
“You never ask, and I don’t want to be asked by anyone.”
Melihat bagaimana Aleon terus menjaga senyumnya agar tetap tertarik adalah pemandangan yang mampu mengoyak jantungnya. Terlebih lagi, ia kembali teringat pada ucapan Olin. Kamu akan lebih merasa bersalah kalau gak tau apa-apa tentang Leon. Tidak, ini lebih dari sekadar perasaan bersalah.
Selama ini, ada sosok yang tengah mati-matian melanjutkan hidupnya di tengah kegelapan dunia. Dunia yang sama gelapnya dengan dirinya. Rasa khawatirnya untuk mengganggu ketenangan Aleon malah membuatnya seolah menyuruh lelaki itu untuk terjun ke dalam rasa sakit sendirian.
“Leon, aku gak melarang kamu untuk menjadi kuat, tapi tolong jangan terlalu kuat.” Anjani semakin mengeratkan genggaman tangannya pada Aleon, genangan air mata mulai memburami pandangannya.
“Anjani, justru aku diam karena aku gak sekuat kamu. Aku gak pernah berusaha kuat karena terlalu sibuk untuk kabur. Aku gak mau inget semua fakta yang terjadi sama ibu. A-aku…,” Akhirnya, senyum Aleon runtuh bersamaan dengan tetes air mata di atas punggung tangan Anjani. “Aku gak mau mengingat kalau Ibu Malinka adalah ibuku yang selama ini selalu aku cari keberadaannya, Jani. Karena pada kenyataannya, ibu memang udah nggak ada di sini.”
“What happened to your mom?”
“She has YOAD, young onset alzheimer’s disease, hanya di bawah satu persen kasusnya untuk seseorang mengalami Alzheimer sebelum usia 65 tahun. Tapi sayangnya, ibu harus masuk ke dalam kurang dari satu persen orang yang mengalami Alzheimer dini. Ingatan ibu,” Suara Aleon melemah. “Semakin hari semakin hilang sampai dia lupa kalau beliau punya anak. Ibu ada di panti ini, bukan tanpa alasan.”
Masih belum diketahui penyebab Alzheimer di usia relatif muda, tapi pada sebagian kasus disebabkan oleh faktor genetik dan itu juga kemungkinan yang terjadi pada Malinka. Penurunan sel-sel saraf neuron pada otaknya mempengaruhi kemampuannya dalam mengingat, berinteraksi, serta membuat perubahan pada kepribadiannya. Malinka yang dulunya aktif berbicara hingga mampu membuat banyak orang jatuh hati pada keramahannya kini berubah menjadi pendiam. Jari jemarinya tidak lagi kenal dengan senar-senar cello sebab Malinka telah melupakan bakat dan rasa cintanya pada musik.
Lalu saat tingkat keparahannya semakin bertambah, penyakit itu berhasil merenggut ingatannya pada putra satu-satunya.
Lelaki itu menarik napas panjang sebelum menyambung kalimat berisi fakta yang sampai kapan pun tidak pernah mau ia terima.
“Jani, kamu boleh bilang aku durhaka karena bertingkah dan juga menyuruh Tante Shelly untuk menganggap ibu sebagai orang asing setiap kali di depan aku. Tapi kamu harus tau, kalau ini adalah cara melindungi diri paling menyakitkan buat aku. Lebih sakit dari mengingat kalau ibu udah gak lagi kenal aku, lebih sakit dari kenyataan kalau sekarang ibu mengenal aku sebagai pemain biola yang selalu bawain dia kue di hari selasa, bukan sebagai anaknya.
“Anjani… aku kangen ibu, a-aku kangen ibu ada di sini.” Aleon menjatuhkan diri ke dalam pelukan Anjani.
“Jangan pernah bilang kalau kamu gak lebih kuat dari aku, you are stronger than everyone I’ve ever met. Dan ibu, ibu selalu ada di sini, Leon.”
Air mata keduanya tumpah, membasahi bahu masing-masing di antara pelukan dua manusia tanpa rumah. Memang tidak ada rasa sakit yang dapat dibandingkan, namun kehilangan dia yang wujudnya masih bisa kita temui setiap hari itu lebih dari sekadar pembunuhan.
Dan apa yang dialami oleh Aleon, jauh dari sekadar kematian.