242; Cerulean tattoo


Di tahun 1590, penggunaan ‘cerulean’ tercatat sebagai nama warna dalam bahasa Inggris untuk pertama kali—diketahui bahwa itu merupakan nama pigmen yang ditemukan pada akhir abad ke-18. Birunya sangat stabil, tidak terlalu kehijauan ataupun keunguan, sehingga sangat berharga bagi lukisan artistik langit untuk merepresentasikan warna langit yang nyata. Bersumber dari dua kata latin. Pertama, cerulean berasal dari kata caeruleus, artinya biru tua, biru, biru-hijau. Namun pada gilirannya, mungkin bisa diambil dari kata caerulum, yg berarti surga atau langit.

Itu informasi yang Anjani tangkap di internet waktu pertama kali menyadari kalau biru langit adalah warna favoritnya. Kala itu usianya masih 13 tahun, setelah bertahun-tahun satu kamar dengan Atharya, mereka berdua akhirnya diberi kamar masing-masing dan warna cerulean menjadi pilihan warna cat dinding yang ditunjuk sang ayah untuk kamar Anjani.

Berulang-ulang ia membaca asal usul warna cerulean dan selalu berhenti di bagian ‘yang pada gilirannya mungkin berasal dari kata caerulum, berarti surga atau langit’. Memang kapan gilirannya untuk mengartikan kata cerulean sebagai surga dan langit?

Sampai hari hilangnya pesawat yang ditumpangi kedua orangtuanya tiba, berabad-abad dari kali pertama cerulean ditetapkan sebagai warna, akhirnya Anjani mampu memahami. Mungkin sekarang gilirannya.

Ayahnya memilih warna cerulean agar Anjani bisa terus merasa ada di bawah kedamaian langit biru. Langit tidak pernah lelah memberi peluk kedamaian, burung-burung yang terbang mengikuti iringan angin seolah mengartikan ada kebebasan di atas langit yang tidak bisa dijumpai saat kaki berpijak pada tanah. Saking damainya, langit biru pun mampu memberikan rumah permanen bagi mereka yang hilang di balik awan.

“Cerulean sebagai surga atau langit,” Anjani mengikat uraian rambutnya, tidak lagi menyembunyikan tato kecil di atas tengkuknya pada Akhailan yang bergeming dari dalam layar. “Mas Ai, mungkin sekarang gilirannya. They were engraved within the word cerulean.

Seperti biasa panggilan video selalu mejadi rutinitas tiap malam semenjak Akhailan tiba di Dubai. Malam ini, Anjani telah meyakini kalau inilah saatnya, sudah cukup ia menyembunyikan rahasia kecil dari kedua saudaranya. Walau tak bisa dibohongi, kedua telapak tangannya sudah mendingin dari detik pertama wajah kakak lelakinya muncul di dalam layar, ia menjelaskan arti kata tersebut tanpa berani menatap mata Akhailan. Perempuan itu khawatir kalau Akhailan tidak memiliki pandangan baik pada mereka yang memiliki tato, terlebih lagi, peluangnya untuk mendapat omelan akan lebih besar karena baru berani jujur setelah satu tahun tinta hitam itu terbenam di kulitnya.

​Saking khawatirnya, ia berbicara sembari menggenggam secarik contekan di tangannya. Anjani mencatat kata tiap kata pengakuan yang sebagian besar ditulis oleh Aleon tadi sore. Aleon menerjemahkan sorot ketakutan dari mata Anjani dengan sangat baik, lewat getaran matanya, intonasi menggebu, kalimat terbata-bata yang bahkan Anjani sendiri tidak tahu bagaimana cara meluapkan kepanikannya pada Akhailan. Semua emosi yang tidak bisa diinterpretasikan secara baik, namun dibaca dengan baik oleh Aleon.

​“Anjani,” panggil Akhailan, sama sekali tidak terdengar nada suara menyenangkan. “Kenapa baru bilang sekarang?”

​Perempuan itu semakin yakin untuk menundukan wajah. “Maaf, Mas… You can blame me, tapi boleh kan, aku dapet izin untuk tatonya? I-it means a lot buatku.” Katanya terbata-bata.

​“Kenapa baru bilang sekarang?” Akhailan mengulang pertanyaan.

​“Maaf—”

​“Kalau kamu bilang dari awal, kamu gak akan simpan tato itu sendiri. I’ll get mine too.” ​ Tidak percaya dengan apa yang ia dengar, Anjani mengangkat wajah tak menyangka, ia mendapati Akhailan tengah tersenyum kepadanya. Tidak ada sorot marah yang tampak barang sedetik. ​“I love your philoshopy. Should I get mine too?” sambung lelaki itu.

​“Mas Ai, kamu… nggak marah?” Raut ketakutan pada wajah Anjani seketika meluruh.

​“Kenapa aku harus marah pada sesuatu yang udah menolong kamu untuk bertahan? I saw a semicolon there, kalau kamu menyimpan harapan dan semangat untuk melanjutkan hidup di dalam sana, kenapa aku harus marah? Jani, Mas gak akan menghakimi darimana kamu mendapatkan energimu kembali. Selama Mas bisa lihat senyum kamu balik, I’d love to see it.” Akhailan berdeham, pura-pura bersedekap seraya menyimpan jari telujuk di dagunya. “Kecuali, tujuan kamu bikin tato untuk menyakiti diri seperti alasan kamu piercing, baru Mas marah.”

Dengan seutuhnya Anjani bisa mengembuskan napas yang dari tadi tercekat. ​Ia terkekeh seraya menggeleng. “Hahaha, aku udah gak punya pemikiran itu lagi, Mas. Setiap keinginan itu muncul, aku udah berhasil mengalihkan bisikan-bisikan itu ke suatu hal yang lebih baik.”

​Akhailan menarik senyum penuh perasaan lega. “Thank you for not hurting yourself anymore, Jani…” ​ “Udah sejak lama aku mulai sadar kalau menyakiti diri sama sekali gak membuat keadaan jadi lebih baik. Dengan menyakiti diri, secara gak sadar justru aku malah semakin membiarkan rasa sakit itu menang, aku semakin gak punya celah untuk sembuh karena aku dikuasai oleh luka. Aku… mau bahagia lagi, Mas,” lirih Anjani.

​“You will, Jani. Kamu, Atha, aku, kita bertiga akan sama-sama kembali bahagia. Walau papi sama mami udah gak di sini, tapi perasaan bahagia yang mereka kasih selama mereka hidup, akan tetap di sini.”

​Bibir Anjani sama-sama mencetak senyum manis. “Mas Ai, aku janji, I won’t hurt myself anymore.”

​Dari luar kamar, diam-diam Atharya telah menyimak percakapan yang terjadi antara saudara kembar dan kakak lelakinya sejak tato bertulis cerulean terkuak. Lelaki itu ikut mengembuskan naps lega. Sambil menyandarkan tubuh pada dinding, dia bergumam dalam hati, “Mas Ai, Anjani, aku janji untuk gak akan berpura-pura bahagia lagi. Let’s be happy, now the storm finally stopped.”

​Pintu kamar yang dari tadi tidak tertutup rapat terbuka.

​“Loh, lo di sini dari tadi?” tanya Anjani dengan ekspresi sedikit terkejut.

​Bukannya menjawab pertanyaan, Atharya malah ikut bertanya. Sebuah pertanyaan yang sama dengan Akhailan setelah mendapati tato bertulis cerulean.

Should I get mine too? I love your philosophy.” ​