272; Come and go
Belokan terakhir dari jalan arteri membawa keduanya menuju kawasan tinggal yang semakin tenang. Para pejalan kaki menyelusur di bawah pohon-pohon flamboyan merah layaknya pemeran utama yang berlenggok pada sorot cahaya jingga. Dua orang di atas motor tidak sedang saling bercakap, masing-masing pandangnya menjelajah menyusuri hal-hal kecil yang layak disyukuri: mekarnya bunga flamboyan, tujuh warna pelangi, dan obrolan burung-burung kecil.
Ada banyak cara untuk melahirkan sebuah memori, salah satunya dengan membiarkan suatu tempat merekam sejumlah kejadian berharga. Tersusun dan terawat sampai akhirnya tersadari kalau hari-hari itu tidak dapat diulang lagi.
Itu yang dirasakan Aleon pada Gedung Kesenian Maheswara, walau hari telah berlalu panjang, tapi kenangan di dalamnya selalu otomatis terbuka setiap kali diri berpijak.
“Ya ampun, tempat ini? Waktu SMA aku pernah nonton event dari asosiasi Korea gitu di sini!” seru Anjani begitu turun dari motor. “Semacam pentas tentang perayaan chusoek, terus yang tampilnya orang-orang Korea Selatan asli.”
Gedung kesenian ini ada di pojok kota, di belakang air mancur yang pancurannya membentuk lingkaran cincin raksasa. Setiap sore, lampu-lampunya akan menyala, memancarkan cahaya keemasan yang menyinari air mancur. Luas bangunannya tidak terlalu besar, hanya memiliki dua auditorium sedang yang masing-masing berkapasitas tidak lebih dari 100 orang.
“Oh ya? Seru dong?” Aleon merespons sama antusiasnya.
Mereka jalan berdampingan, melewati dua pilar bangunan di pintu masuk utama.
“Seru! Udahnya penonton dibolehin naik panggung buat foto sama pelakonnya. Terus udahnya aku sok iye gitu ngomong, sugohaesseoyo! Eh mereka langsung yang woah, jaraesseoyo jaraesseoyo! Lucu, pada humble banget, nggak tau aja itu aku nyontek kamus dulu, aku kan pas itu cuma tau annyeong.” Katanya sembari tertawa-tawa.
“Giliran sekarang liat yang lucu dikit langsung aaaa, kiyowo!” Kedua tangan Aleon mengepal sambil mimik wajahnya menduplikat ekspresi Anjani setiap bereaksi begitu.
“Idiiiih apaan,” Anjani menonjok pelan bahu Aleon, matanya memicing. “By the way, ini tempat favoritnya ibu?”
“Bukan tempatnya sih, tapi memori yang ibu buat di sini bareng anak-anak panti asuhan yang sampai hari ini masih jadi salah satu bagian favoritku tentang ibu.”
Anjani mengikuti ke mana Aleon melangkah tanpa banyak bertanya. Punggung yang ia tatap dari belakang itu rasanya sudah cukup banyak membeberkan besar rasa rindunya terhadap gedung ini. Perempuan itu memperhatikan dari belakang, bagaimana mata Aleon menjelajahi seluk beluk gedung kesenian seolah mencari ulang sesuatu yang sudah tak dapat lagi ditemukan.
“Kamu nggak nyuruh aku joget di atas panggung terus kamu rekam dan videonya dimasukin youtube dengan clickbait Viral! Seorang perempuan menari seperti lumba-lumba, kan?” Begitu memasuki auditorium penuh kursi kosong Anjani menunjuk Aleon dengan ekspresi waspada. Bergurau.
Aleon menoleh kaget. “Kenapa sih tuduhan curiganya suka di luar nalar?”
Lalu tertawa.
Syukurlah dia tertawa. Aku tahu, jiwanya sudah masuk terlalu dalam ke dalam gedung ini sejak pertama kami tiba. Matanya mengucapkan lebih banyak kata rindu dibanding bibirnya.
“Untuk memaknai suatu hal memang harus banyak merasakan. Tapi terlalu banyak merasakan juga gak baik, bisa menguras energi. Hari ini kayaknya kamu udah terlalu banyak merasakan,” lanjut Anjani seakan tahu pasti situasi di dalam kepala Aleon. “Kalau capek, kenangan manisnya malah bisa jadi racun buat isi kepala kamu. Sampai sini dulu, besok baru dirasain lagi.”
Mendengar itu, Aleon hanya mengusak lembut rambut Anjani, seraya memperlihatkan senyumnya yang membungah bangga.
Karena luasnya tidak terlalu besar, penyusunan kursi penonton dibuat berundak ke belakang, semakin belakang semakin tinggi sehingga penonton di ujung masih dapat melihat panggung tanpa terhalang kepala-kepala penonton di depan.
Mereka berdua pergi menuju kursi di barisan tengah.
Satu bulan berlalu sejak malam tahun baru, rasanya rute kehidupan belum juga dapat ditentukan. Dibanding berlomba mencari tujuan, orang-orang lebih terlihat tengah bersaing untuk bertahan hidup, terserah mau dibawa ke mana yang penting tahun ini tidak mati dibunuh kehidupan.
“Aku masih bisa ngeliat ada ibu main cello di samping piano.” Aleon menunjuk sebuah piano berwarna putih di pojok kanan panggung.
“Eh? Keren banget ibu kamu pernah pentas di sini! Jangan-jangan ibu anggota sanggar maheswara ya?” Intonasi suaranya meninggi, perempuan itu merespons takjub.
Seperti yang banyak orang tahu, bukan rahasia lagi kalau sebagian besar pelakon di televisi adalah jebolan dari sanggar maheswara, atau bermacam acara terhormat yang rata-rata penyambutannya diisi oleh para pemusik dari sana.
“Hahaha nggak. Ibu bikin acara buat anak-anak panti sebelum gedung kesenian ini dihak milik sama sanggar maheswara, waktu izin sewanya masih gampang.”
“Oalah, ya tapi tetep aja keren! Ibu kamu bisa jenius banget sampai kepikir untuk sewa auditorium buat main musik untuk anak panti.”
Hatinya selalu otomatis menghangat saat melihat respons antusias orang ketika mendengar cerita tentang ibunya. Apapun yang berhubungan dengan Malinka, Aleon akan senang menceritakan berbagai hal menyenangkan tentang sang ibu, terutama pada Anjani, dia ingin Anjani mengenal Malinka seutuhnya.
“Gak cuma main musik sendiri, ibu juga ngundang salah satu klub paduan suara sama anak-anak teater, jadi acaranya semacam drama musikal gitulah, anak-anak panti juga yang ikut main peran.”
Silap mata Anjani memancarkan gemilang kekaguman pada sosok Malinka.
“Menurut ibu, dia hanya bisa kasih ruang aman lewat musik. She would do anything for music,” sambung Aleon. Kalungan kamera di lehernya ia arahkan pada panggung kosong, lalu memotretnya seakan-akan Malinka ada di sana.
“Gak heran kenapa ada jutaan emosi yang dititipkan ke dalam suatu karya seni, karena seni gak punya batasan.”
Aleon menoleh pada Anjani untuk memperlihatkan anggukan setuju, setelah itu kembali mengotak-atik kameranya.
Suara air mancur yang terdengar dari luar gedung kesenian membawa Anjani untuk menggeser tubuhnya lebih dekat dan menyandarkan kepalanya pada bahu Aleon, ikut melihat potret pojok auditorium yang hari ini banyak diambil.
Tidak mau lama-lama menciptakan keheningan, Anjani tiba-tiba berbicara. “Leon, kalau ruang aman kamu, di mana?”
Dehaman terdengar dari mulut lelaki itu. “Orang-orang di sekeliling. Ibu, Tante Shelly, Hira, adik-adik asuh, temen-temen lansia, sekarang nambah kamu.”
Anjani mengangguk-angguk, terkekeh. “Oookey… Tapi, kalau tempat lain buat menitipkan perasaan dan emosi kamu lebih bebas, di mana?”
“Kalau hanya mereka, gimana?” kata Aleon. Kedua bahunya menaik, sama-sama terkekeh juga.
“Yaa nggakpapa sih, tapi sepengalamanku, sekalinya orang yang aku andalkan pergi, aku langsung merasa kosong.” Dia menghela napas. “People come and go. Kecuali kalau kamu memang udah menyiapkan diri dari awal buat menghadapi kehilangan yang gak bisa diprediksi. Aku gak pernah menyiapkan diri dari awal, makanya sekalinya papi sama mami gak ada, aku kacau.”
Yang diajak berbicara menganggut. “Dasarnya emang manusia sering terlalu percaya diri bakal hidup saling berdampingan dalam waktu yang lama, menolak paham sama konsep ‘go’. Padahal pergi sendiri konteksnya luas, gak harus putus hubungan. Bisa diambil dari dunia atau ya… kayak ibu. Itu yang menakutkan, gak bisa diprediksi.”
“Perlu waktu yang panjang buat menerima konsep people come and go. Kalau sekarang masih belum bisa, gakpapa Leon, yang penting belajar buat gak menolak paham aja dulu, selebihnya kan kita bisa belajar sama-sama. Life is too hard to learn alone.
“Kamu nggak lupa kan kalau aku pernah menawarkan kamu untuk ikut melanjutkan kisahnya Sabiru dan Baruna?” Masih menyender, Anjani juga melingkarkan tangan pada lengan Aleon, melempar pertanyaan dengan deham kelembutan. “Ciptain ruang aman kamu di situ, bareng aku,” ajak Anjani.
Selain menolak konsep ‘pergi’, banyak juga manusia yang lupa kalau tidak selamanya situasi hanya bisa dihadapi seorang diri. Terkadang kita lupa, kalau mengeluh saja tidak cukup. Beberapa situasi memang cukup dikeluhkan saja setelah itu diurus lagi sendiri, tapi di lain situasi, manusia butuh mengeluh, juga ditolong.
Lewat kalimat-kalimat Anjani yang membuat Aleon termenung dalam hitungan detik, hanya melempar pandang kosong pada potret-potret di monitor kameranya yang dari tadi sudah ia ulang berkali-kali, jelas tidak mungkin kalau dirinya langsung tersadarkan, untuk sembuh itu memerlukan proses panjang. Tapi dari Anjani, Aleon belajar kalau semburat harapan pasti terbit di waktu yang tepat.
Sejak sekian lama, Anjani berhasil membuat Aleon kembali merasakan bagaimana rasanya didengar lagi. Dari Anjani, dia menemukan harapan untuk belajar mengikhlaskan, menerima, dan pulih bersama-sama. Anjani sudah belajar banyak, sekarang sudah waktunya Aleon juga mencoba.
“Kok diem? Salah ngomong ya aku?” Perempuan itu bertanya khawatir.
Aleon yang dari tadi menunduk kini mengangkat wajahnya. Tanpa menjawab lebih dulu, dia mengecup kening Anjani sebagai ungkapan rasa syukur yang tidak akan cukup terwakili jika diucap lewat kata.
“Kalau dengan mengikhlaskan salah satu yang pergi lalu digantinya sama kamu, I will open the widest door to let you in, Jani,” jawab Aleon.
People come and go. Then she came.
Sekali lagi, gedung kesenian maheswara tidak sekadar menciptakan kenangan bagi Aleon, tapi juga menerbitkan harapan.
Sebelum benar-benar meninggalkan tempat itu, Anjani berjalan menuruni undakan tangga sambil matanya mengarah intens pada panggung kosong dan satu piano putih yang daritadi menontoni mereka. Entah mengapa dia meyakini dengan serius, kalau suatu hari nanti tempat ini akan kembali melahirkan memori baru. Tidak hanya untuk Aleon, tapi juga dirinya.