269; Di bawah langit tahun baru
Bagi Anjani, dunianya sudah berhenti di tahun 2018. Ketika orang-orang berbondong memenuhi jalanan untuk menyambut hari pergantian tahun, menggunakan baju pesta, wig warna warni dan menembakan doa beserta harapan melalui mercon yang pecah di langit, Anjani hanya ingin ledakan yang dilihat dari balik jendelanya justru menjadi satu-satunya ledakan yang akan mengakhiri tahun, seluruh tahun.
Halaman belakang rumah Shelly sudah diisi oleh dua jejeran alat panggang, hawa panas dari bakaran arang di bawahnya mampu menjangkau jarak beberapa meter dan menghangatkan tiap pasang jiwa di sana. Tidak pernah terpikir kalau Anjani akan ikut berpartisipasi dalam perayaan tahun baru yang tidak pernah ia harapkan, sebab luka dan kesedihannya masih mengikat walau dunianya telah terlihat membaik.
Beberapa jam sebelum tahun berganti perempuan itu kembali melamun menatap langit, memisahkan diri dari Aleon dan keluarga Shelly.
“Jani, lagi nungguin pesawat lewat?” Aleon datang memecah lamunannya tiba-tiba.
“Enggak lagi nunggu apa-apa. Kenapa? Tante Shelly nyariin aku?”
“Aku yang nyariin.”
“Ya elaaah!” decaknya, tapi tidak berani menatap mata Aleon, khawatir upaya pura-pura kerennya runtuh. “Oh iya,” sambungnya lagi. “Barusan aku kirim kabar ke Kanisha sama Rein, mereka shock liat aku tahun baruan di luar hahaha, abis itu ngedumal gara-gara aku rayainnya bareng kamu, gak sama mereka padahal mereka lagi pulang.”
Aleon ikut tertawa untuk menghargai Anjani yang juga tertawa, lelaki itu selalu begitu. Showing the same emotions that his girl feels is his personality. “Kamu deket banget ya sama mereka?”
Seraya berjalan beriringan menuju kursi teras di sisi lain halaman, Anjani menjawab. “Gak mungkin kalau gak deket, temenku memang cuma Rein sama Kanisha.”
Keduanya telah duduk, giliran Aleon yang membalas. “Masa?! Nggak percaya banget temen kamu dua doang!” Intonasi suaranya meninggi menyeimbangi besaran bola matanya.
“Yeee maksudnya, temen yang beneran temen. Kalau sekedar status aja, ya banyak, tapi kan gak semua temen bener-bener punya ikatan. Dulu mami pernah bilang, jangan kaget kalau kamu punya beberapa teman yang gak sepenuhnya menganggap kehadiran kamu, karena saling kenal bukan berarti saling mengikat. Kategori teman yang seperti itu cukup dijadikan teman sekadarnya, gak perlu takut ditinggal tapi gak perlu ‘dibuang’ juga, toh, we still need them untuk teman main. Yang benar-benar terhubung dengan kamu, itu yang harus kamu jaga dan khawatiri kalau pergi.”
Sebelum melanjutkan kalimatnya, perempuan berjaket beludru biru itu menatap mata Aleon sebentar, hanya sebentar dan tak lebih dari 10 detik. Itu adalah sepuluh detik paling panjang yang membuat Anjani yakin untuk kembali mencintai tahun-tahun yang akan datang. Asal bersamanya, Aleon Loka Arsyanendra.
Seperti tahu kalau Anjani masih ingin berbicara, maka Aleon hanya merespons ucapannya dengan senyum dan anggukan pelan sebagai tanda mempersilakan jika Anjani bisa berbicara sebanyak apa yang ia mau, dan dia akan mendengarkan karena ia akan selalu mau.
“Yang perlu dikhawatiri kalau mereka pergi. Mungkin itu juga yang jadi alasan kenapa temenku cuma mereka. Sejak papi sama mami pergi, aku jadi takut untuk menyayangi banyak orang karena takut ditinggal dengan tiba-tiba, lagi.” Kata Anjani.
“Justru karena kita gak tau kapan seseorang akan pergi, jadi jangan takut untuk menyayangi orang-orang yang kehadirannya masih ada di samping kamu.” Aleon menyelipkan helaian rambut Anjani ke belakang telinganya. “Gak perlu khawatir, kita memang terlahir untuk mengkhawatirkan banyak hal kok,” lalu ditutup oleh sesimpul senyuman.
Aroma lelehan butter di atas jagung bakar sudah sampai pada indra penciuman. Malam semakin larut, namun langitnya semakin terang faktor luncuran roket-roket yang dilepaskan sebelum jamnya. Sesekali Aleon melirik ke balik dinding pembatas antara tempat keduanya sekarang dan area di mana Shelly menyiapkan pesta tahun baru, jaga-jaga tantenya mencari atau membutuhkan bantuan. Tapi begitu matanya berpapasan pada Shelly, wanita itu malah mengedipkan sebelah mata sembari mengibaskan tangan dengan maksud, ‘sudah sana, gakpapa kalau mau pacaran!’.
“Kamu sendiri, apa hal paling banyak yang kamu khawatiri di tahun ini?” Perempuan itu sangat aktif berbicara malam ini.
“Cuma ibu,” jawabnya singkat. Dua kata yang mampu mewakili seluruh ketakutan dalam hidup Aleon. “Aku tau memori ibu gak akan kembali, jadi setiap harinya, aku hanya berdoa semoga aku bisa berhenti jadi manusia denial dan ikhlas pada alur kehidupan yang udah dikasih Tuhan untuk aku dan ibu.”
Beberapa hari lalu sejak ikatannya dengan Malinka sebagai ibu dan anak terkuak, Anjani sempat bertanya, sebegitu besarkah rasa takut Aleon sampai harus bersikap selayaknya orang asing pada Malinka? Bahkan Shelly juga turut andil dalam ‘sandiwara’ Aleon.
Faktanya, sandiwara Aleon dan Shelly bukanlah sekadar sandiwara dari dua manusia denial.
Pada hari-hari pertama Malinka mulai kebingungan tentang siapa dirinya, namanya, kehidupannya, Aleon secara pelan-pelan membantu menata ingatan sang ibu dengan mengenalkan diri sebagai anaknya. Di fase ini perilaku Malinka mulai berubah dan menjadi mulai curiga, bahkan caregiver-nya pun seringkali ia curigai sebagai penipu.
Hari-hari selanjutnya Aleon selalu mengenalkan diri menggunakan cara yang sama dengan maksud menjaga memori sang ibu. Namun di sinilah Malinka justru merasa terancam karena semakin hari, dia semakin sulit mengingat wajah seseorang dan tidak percaya kalau Aleon adalah putranya.
Alasan utama Aleon tidak mengakui Malinka sebagai ibunya karena Aleon tidak mau kehadirannya membuat Malinka semakin takut untuk menemuinya. Aleon memilih menjadi orang asing agar Malinka tidak pergi semakin jauh.
“Leon, kamu belum baca update terbarunya Sabiru, ya?” tanyanya, mengalihkan topik sebelum mengubah malam menyenangkan menjadi pilu.
“Eh? Emang ada update baru?” Benar kan, wajah setengah sendunya langsung berubah menjadi excited saat tahu akun penulis yang ia tunggu-tunggu ceritanya mengunggah chapter selanjutnya. Lelaki itu segera mengeluarkan ponsel dari saku. “Loh iya ada tweet baru semalem, kok notifnya gak masuk di aku, padahal aku nyalain notif.” dumalnya.
Perempuan di sebelahnya ikut tertawa. “Hahaha sama. Tumben juga aku belum dapet notif dari kamu, biasanya tiap aku cek notif pasti selalu nama kamu yang muncul pertama.”
Guliran ibu jari di atas layar ponsel akan berhenti dalam hitungan, 1…2…3
Aleon menoleh tak menyangka. “Anjani? Is eyesdontread you?”
“I already told you, kalau mata nggak akan bisa membaca.” Senyuman tipis ditarik oleh Anjani. “Kalau sekarang udah berhasil baca?”
“Belum,” jawabnya. “Tapi setelah aku tau penulisnya kamu, aku rasa aku bisa menjabarkan semua kisah Sabiru yang selama ini udah aku baca.”
Cahaya kota berkilau semakin terang di bawah sana. Menit-menit terakhir menuju malam pergantian tahun, ledakan bunga-bunga api mulai bersaing sengit di atas langit untuk menjadi ledakan tercantik di awal tahun. Aleon melirik pada arloji, masih ada 15 menit terakhir.
“Jani, selama ini aku mengikuti kisah Sabiru dan aku pikir itu hanya kisah dongeng fantasi hasil imajinasi penulis. Aku gak tau apa yang terjadi sama Sabiru, gak pernah kebayang bentuk sangkar raksasa, dan kereta jelek? Kenapa dia harus takut dengan kereta? Dan keliatan juga dari respons pembacamu yang lain kalau ternyata gak cuma aku yang kesulitan mengimajinasikan kisah Sabiru.”
Anjani mendengarkan sambil berharap-harap cemas entah mengapa.
Lelaki itu mengangguk yakin. “Mata gak akan bisa baca. Sekarang aku ngerti, dari awal si penulis memang nggak pernah minta untuk dibaca imajinasinya, tapi ke siratan kisah sebenarnya yang kamu representasikan sebagai kisah seorang anak bernama Sabiru. Jani, now I know, you are Sabiru di dalam cerita itu.”
“How?” Ekspresinya hampir menunjukan kalau dia kagum pada Aleon, tapi ia urungkan sebab Aleon belum memecahkan kisahnya.
“First, itu bukan sangkar, tapi isi kepala kamu yang kamu ibaratkan sebagai kurungan sangkar. Gimana kamu bilang kamu terjebak di dalam duka bertahun-tahun, bahkan kehilangan diri kamu sendiri, that’s why you titled it as trapped in a cage cause you are trapped in grief.”
Demi mengupas habis teka-teki pada tulisan Anjani, Aleon menggulir ulang unggahan kisah Sabiru sampai ke paling bawah.
“He almost caught me,” sambungnya, membaca salah satu judul. “Di sini Sabiru menceritakan tentang benda-benda tajam.” Aleon berhenti untuk melirik sebentar ke arah Anjani, ia bisa melihat bagaimana pupil perempuannya membesar, dan wajah yang seperti tengah menahan napas karena untuk bagian ini Anjani khawatir jika Aleon tahu. Dia memulai lagi, “Ini bukan tentang Sabiru yang tertangkap oleh kereta jelek, tapi kamu. You who almost commit suicide for the umpteenth time. Sabiru berhasil, anak itu berhasil. Kamu berhasil bertahan Jani. You and your semicolon tattoo now it all makes sense.
“Kereta jelek yang selalu ingin mengajak Sabiru pergi juga bukan mau menculik, tapi membawa kamu pergi dari sini, dari dunia. Anjani, how genius you are… Selama ini, kamu lagi berusaha bertahan lewat tulisan itu, kamu mengalihkan hasutan-hasutan buruk di kepala kamu pada tulisan, to keep you sane.”
Beberapa orang terlahir tanpa keberanian untuk berbicara, dan mereka yang memiliki keberanian bukan berarti memiliki kemampuan dalam berbicara. Anjani salah satunya. Ketika lisan tidak mampu menyuarakan apa yang kepalanya coba teriakan, pada tulisanlah ia menyimpan kisahnya untuk dibaca semua orang. Anjani menulis untuk dirinya sendiri, sebab dia selalu merasa didengar setiap kali orang-orang membaca tulisannya.
Panggilan Shelly sudah terdengar beberapa kali karena waktu semakin mendekati jam tengah malam, namun Aleon masih bergeming, matanya tidak lepas dari unggahan chapter Sabiru yang baru di baca malam itu. Semua kekacauan Baruna yang dia baca… seperti gambaran angin ribut yang berporak-poranda di dalam kepalanya, yang ia biarkan mengacau tanpa tahu harus berbuat apa.
“So… Baruna is…”
“You,” jawab Anjani. “He looks much braver than Sabiru, but in fact, he is the weakest. Kalau Sabiru berusaha mati-matian untuk kabur dari sangkar, Baruna hanya pasrah sambil menunggu keajaiban semoga dia bisa turun satu lantai lagi. Baruna was trapped too deep in grief. Am i right, Leon?”
Lalu suara ledakan kembang api meluncur membelah langit. Ramai teriakan gembira dari orang-orang di sekeliling menembus dinding rumah masing-masing.
Tepat jam 12 malam, hari pergantian tahun.
Perempuan itu menoleh, melemparkan binar mata yang lebih gemilang dari letupan bunga api di langit. “Aleon, kalau kamu malu buat nunjukin perasaan kamu secara terang-terangan, kamu bisa taruh isi kepalamu ke dalam tulisan dan biarkan orang-orang asing itu membaca. Kadang, berbagi cerita ke orang asing memang jauh lebih nyaman. Dan aku pernah denger, kata Kak Olin tulisan kamu bagus. Mau ikut jadi pemilik akun eyesdontread dan ambil POV Baruna?”
Lelaki bermata coklat itu tertawa kecil. “Aku nggak pernah menulis cerita untuk publik sebelumnya. Kayaknya nanti malah bikin pembaca kamu ngerasain kalau yang nulisnya beda.”
Anjani mengangkat bahu. “Gakpapa. Semua orang mencoba hal baru di awal tahun.”